Site icon Good News and Inspiration

Tapa Pepe

Cerpen Absurd
Gus Nas Jogja (Bagian I)

Kabarbagus.id –  Alun-Alun Utara Jogja malam itu terasa seperti panggung teater yang ditunggu-tunggu. Anginnya bukan lagi membawa aroma nasi uduk Sekaten, melainkan bisikan dari masa lalu, bisikan yang mengenang para leluhur yang berani duduk di bawah teriknya matahari demi sebuah keadilan. Aku, Sang Pendemo, bukan berdiri, melainkan duduk di atas sebuah batu andesit yang kubawa sendiri dari kawasan wingit Kendit di punggung Gunung Merapi. Ini bukan aksi demonstrasi. Ini adalah Tapa Pepe.

Ini adalah respons kami terhadap kondisi saat ini. Kami tidak lagi percaya pada teriakkan, pada spanduk yang berteriak. Kami percaya pada keheningan yang kuat, pada bahasa simbolik yang hanya bisa dipahami oleh jiwa. Kami melakukan Tapa Pepe modern, bukan untuk meminta keadilan dari Raja, melainkan dari sebuah sistem yang telah membuat rasa (perasaan, hati nurani, martabat) menjadi komoditas langka.

Aku tersenyum. Kami tidak meminta. Kami tidak menuntut. Kami hanya menciptakan sebuah narasi baru, narasi yang begitu gila, hingga ia mampu mengubah realitas. Kami tidak meminta agar kami tidak bangkrut. Kami hanya menunjukkan bahwa kebahagiaan sejati, kedaulatan sejati, tidak bisa dibeli. Bahwa hidup yang paling bermakna adalah hidup yang berani menjadi absurd. Kami tidak perlu lagi Dying to Survive melainkan Living to Tapa Pepe.

Jika di Tiongkok, mereka memiliki film. Di Jogja, kami memiliki rasa yang kami ubah menjadi sebuah ritual. Dan ritual itu, ternyata mampu mengguncang dunia. Kami tidak meminta keajaiban. Kami hanya menciptakan keajaiban kami sendiri, di atas panggung kehidupan yang tak pernah kehabisan cerita.

Di tengah keheningan itu, muncullah mereka. Bukan dari pintu gerbang, melainkan dari kilatan cahaya yang aneh. Mereka adalah avatar dari jiwa-jiwa raksasa, yang seolah terpanggil oleh Energi Tapa Pepe kami.

Pertama, Jack Ma, melayang di atas segelundung awan data. Ia tidak lagi mengenakan jas, melainkan jubah sutra yang dihiasi kode-kode algoritma. “Logistik penderitaan manusia,” suaranya mengalun seperti gema di ruang kosong, “adalah sistem yang paling efisien. Kalian tidak perlu demo. Kalian hanya perlu membuat sebuah sistem yang lebih adil, yang membuat setiap individu menjadi sebuah platform bagi kebahagiaannya sendiri.”

Kemudian, dengan keheningan yang memukau, datanglah Jackie Chan. Ia tidak berbicara. Ia hanya melakukan serangkaian gerakan akrobatik yang aneh. Ia melompat dari satu pohon beringin ke pohon lainnya, berguling-guling di atas rumput, seolah-olah bertarung melawan musuh tak kasat mata. Setiap gerakannya adalah sebuah komedi tragis tentang betapa absurdnya perjuangan untuk mendapatkan keadilan. Tarian absurd itu adalah puisi, sebuah pernyataan bahwa terkadang, untuk bertahan hidup, kita harus menguasai shaolin perasaan dan kungfu hati.

Selanjutnya, Yao Ming, muncul menjulang. Ia tidak membawa bola, melainkan sebutir biji padi. “Dari ketinggian ini,” suaranya menggelegar namun lembut, “aku melihat kalian semua. Aku melihat betapa kecilnya kalian, dan betapa besarnya masalah yang kalian pikul. Tapi dari ketinggian ini juga, aku melihat bahwa satu biji padi bisa menjadi gunung. Satu aksi kecil seperti Tapa Pepe ini, bisa mengubah arah angin seluruh dunia.”

Vera Wang hadir dengan anggun, memancarkan cahaya dari gaun yang ia kenakan. Ia tidak peduli dengan tuntutan kami. Ia hanya sibuk menata posisi kami, meluruskan lipatan kain yang kami kenakan. Ia mengambil sehelai sutra, yang ia sulam dengan benang emas, lalu ia sampirkan pada pundak Paijo, sang buruh. “Protes haruslah indah,” bisiknya. “Keindahan itu sendiri adalah sebuah perlawanan. Jika kita membuat perjuangan ini indah, ia akan menjadi abadi.”

Kemudian, dari dalam kegelapan yang menyelimuti, muncullah dua sosok. Yang satu seperti hantu, mengenakan jubah hitam kebesaran seorang hakim. Itu adalah Bao Zheng, sang hakim legendaris. Ia tidak berbicara, hanya mengangguk ke arahku. Sebuah persetujuan tanpa kata, bahwa Tapa Pepe ini adalah bentuk keadilan yang paling murni, yang melampaui segala hukum dan pengadilan.

Yang kedua adalah sebuah bayangan, yang muncul dan menghilang. Sebuah sosok yang sangat lincah, seperti tetesan air. Itu adalah Bruce Lee. Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas, hanya merasakan kehadirannya. Ia berbisik, suaranya seperti aliran air, “Jangan terpaku pada satu bentuk, tapi jadilah seperti air. Air bisa mengalir, bisa menetes, bisa juga menghancurkan batu. Protesmu harus seperti air. Mengalir di celah-celah sistem, tanpa perlawanan, hingga ia mampu menghancurkan fondasi ketidakadila.”

Aku menghela napas. Semua orang di sini adalah Dewa Penolong dalam cara kami masing-masing. Kami bukan penjahat. Kami adalah para pelaku seni yang mempertaruhkan kewarasan demi sebuah makna…….(Bersambung)

Exit mobile version