Sleman (Kabarbagus.id) – Di tengah pusaran kekuasaan yang makin elitis dan arah bangsa yang kian kabur, suara dari jantung Tanah Jawa kembali bergema. Bukan sekadar mengenang, melainkan memanggil: Bangkitkan kembali karakter bangsa!
Dua abad setelah meletusnya Perang Jawa (1825–1830), para budayawan, seniman, aktivis 80-an dan 98, serta pemimpin lintas generasi berkumpul dalam forum reflektif di Jawa Village Resort, Pandowoharjo, Sleman, Kamis malam (17/7/2025). Turut hadir dalam forum ini antara lain: Dr. Untoro Hariadi, Dr. Arie Sujito (Wakil Rektor UGM), Taufik Rahzen, Evi Idawati, M. Toriq, Danuri, Idham Samawi, Rahadi Saptata Abra (Ketua Patra Padi – Trah Diponegoro), hingga Wakil Menteri Sosial RI, Agus Jabo Priyono.
“Jika Diponegoro hidup hari ini, ia akan tetap melawan oligarki, menolak manipulasi kekuasaan, dan berdiri membela rakyat kecil,” tegas Sigit Sugito, budayawan senior yang juga Ketua Panitia acara.

Wakil Menteri Sosial RI, Agus Jabo Priyono, yang hadir dalam forum ini, menegaskan bahwa peringatan 200 tahun Perang Diponegoro harus menjadi titik balik kebangkitan nasional.
“Perjuangan Diponegoro adalah upaya mempertahankan jati diri bangsa dari dominasi asing dan elite lokal yang berkhianat,” tegas mantan aktivis 98 itu.
Agus Jabo juga mengkritik arah bangsa yang menurutnya kian kehilangan kompas karakter. “Bangsa kita seperti kerumunan yang kehilangan arah. Kita butuh character building seperti yang dulu dipesankan Bung Karno.”
Namun, ia melihat harapan pada pemerintahan baru di bawah Presiden terpilih Prabowo Subianto, yang menurutnya sedang berusaha membangun kemandirian bangsa, memutus mata rantai imperialisme dan oligarki, serta memperkuat fondasi ekonomi nasional.
“Saya menyaksikan Pak Prabowo sedang berupaya membangkitkan mata batin bangsa ini,” ujarnya.
Peringatan ini bukan seremoni mati. Ia adalah panggilan sejarah. Saat oligarki menguat, ketika sistem demokrasi direduksi menjadi panggung elit, kita butuh arah yang jernih, bukan sekadar ganti rezim, tapi ganti cara berpikir.
Diponegoro mengajarkan bahwa bangsa yang besar tidak bisa dibentuk oleh keturunan, uang, atau teknologi semata. Ia tumbuh dari iman, keberanian moral, dan semangat membela rakyat.
Dua ratus tahun lalu, Diponegoro berdiri seorang diri, menolak tunduk. “Hari ini, kita tidak boleh berdiri diam. Jika kita sungguh bangsa merdeka, maka sudah waktunya kita bertanya: masihkah kita punya karakter, atau sudah sepenuhnya menjadi bayangan kekuatan asing?” Agus Jabo mengakhiri pidato nya.
Lebih lanjut Sigit Sugito menegaskan, semangat Diponegoro bukan romantisme sejarah, tapi energi moral untuk menghadapi realitas hari ini: oligarki yang mencabut akar kedaulatan, elite yang berkhianat, dan sistem yang kian jauh dari keadilan sosial.
Diponegoro selama ini disalahpahami. Banyak yang mengira masyarakat Jawa identik dengan pasrah dan ‘nrimo’. Tapi, sebagaimana ditegaskan Sigit Sugito, karakter Jawa versi Diponegoro justru keras kepala terhadap ketidakadilan, berani melawan meski sendirian, dan bersandar pada kekuatan spiritual.
“Ia bukan sekadar panglima perang, tapi sufi pejuang. Perang bukan soal tahta, tapi jihad moral. Ini bukan ambisi pribadi, melainkan laku suci,” kata Sigit.

Sebagai bangsawan Mataram, Diponegoro menolak hidup nyaman di istana. Ia memilih tinggal di Tegalrejo, membaur dengan rakyat, santri, dan petani. Ia menjalani apa yang disebut “bunuh diri kelas”, meninggalkan statusnya demi berdiri di sisi wong cilik.
“Laskar Diponegoro dibangun bukan atas nama darah biru, tapi integritas. Petani dan guru ngaji bisa memimpin. Itu pelajaran penting untuk hari ini: kepemimpinan harus lahir dari moral, bukan warisan,” ujar Sigit.
Diponegoro menyatukan banyak elemen dalam satu barisan: petani, ulama, bangsawan progresif, hingga rakyat adat. Gotong royong menjadi fondasi. Karakter Jawa bukan kompetitif, tapi komunal dan penuh rasa.
“Orang Jawa itu sabar bukan karena takut. Tapi karena batinnya teguh. Saat waktunya tiba, mereka bisa meledak seperti gunung spiritual,” tambah Sigit dengan suara bergetar. (KB-1)